Senin, 08 September 2014

R. Syarifah Ambami (Rato Ebu) Arosbaya

Cinta Sejati Seorang Ratu


Ada banyak cerita yang menggambarkan cinta seorang wanita atau seorang ibu di Indonesia, salah satunya adalah Makam Air Mata Ratu Ibu di Madura. Percayalah, Anda akan lebih menghargai perasaan kaum perempuan setelah berkunjung ke tempat ini.

Makam Air Mata Ibu berada di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Hanya berjarak 11 km dari Kota Bangkalan, yang menjadi gerbang masuk Pulau Madura. Anda harus menempuh puluhan anak tangga untuk sampai ke makam ini. Sebab, Kompleks Makam ini terletak di puncak bukit kecil pada ketinggian 30 mdpl.

Ratu Ibu adalah seorang wanita yang bernama Sarifah Ambani. Wanita keturunan dari Sunan Giri ini adalah seorang istri yang sangat taat, patuh dan sangat mencintai suaminya, Raja Cakraningrat. Raja Cakraningrat adalah seorang raja yang sangat dihormati dan diagungkan oleh masyarakat Madura pada saat itu. Raja Cakraningrat memimpin Madura pada tahun 1624 atas perintah Sultan Agung dari Mataram.

Raja Cakraningrat terkenal akan kepandaiannya, kepawaiannya, dan tenaga yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin. Maka, Sultan Agung Mataram membutuhkan jasa Raja Cakraningrat untuk membantunya membangun Mataram. Sehingga, Ratu Ibu sering ditinggal oleh suami tercintanya. Perasaan sedih pun melanda Ratu Ibu, walaupun istri seorang raja, tapi hatinya adalah hati wanita biasa. Hampir siang malam beliau sedih karena ditinggal suaminya bertugas ke Mataram.

Ratu Ibu memilih untuk bertapa ketika perasaan sedih mengguncang dirinya. Dalam pertapaannya, Ratu Ibu meminta kepada Yang Maha Kuasa agar suaminya tetap sehat dan agar kelak tujuh turunannya bisa menjadi pemimpin dan penguasa Madura.

Hingga suatu hari saat Raja Cakraningrat pulang ke Madura, perasaan Ratu Ibu pun berbunga-bunga. Selain senang karena suaminya pulang, Ratu Ibu juga bercerita dirinya bertapa dan berdoa agar tujuh keturunanya menjadi pemimpin Madura. Namun, bukannya rasa senang atau pun pujian yang diucapkan oleh Raja Cakraningrat, tetapi justru kemarahan dan kekecewaan. Raja Cakraningrat kesal karena istrinya hanya berdoa agar tujuh turunannya yang menjadi raja. Sebab, Raja Cakraningrat ingin semua keturunannya menjadi pemimpin Madura.

Mendengar hal tersebut Ratu Ibu pun sedih dan merasa bersalah. Saat suaminya kembali ke Mataram untuk bertugas, Ratu Ibu kembali ke pertapannya di Desa Baduran. Saat bertapa Ratu Ibu terus menangis tanpa henti, hingga konon air matanya membanjiri tempat pertapannya. Hal tersebut terus berlangsung hingga beliau wafat.

Di Desa Buduran tidak hanya terdapat makam Ratu Ibu. Di sana juga terdapat makam Raja Madura dari abad ke-16 hingga ke abad ke-19. Konon makam raja tersebut adalah tujuh turunan dari sang Ratu Ibu. Selain nilai sejarah yang tinggi, keunikan seni arsitektur pada makam dan beberapa pahatan batu di sekitar makam menjadikan suasana makam ini begitu sakral dan mistis. Tidak sedikit pula traveler datang ke tempat ini untuk berwisata ziarah.

Dengan berkunjung ke Makam Ratu Ibu, bagi para wanita akan mendapatkan pelajaran tentang pengorbanan dan rasa iklhas sebagai seorang istri. Serta bagi para pria, Anda akan lebih belajar dan lebih menghargai tentang perasaan dan hati seorang wanita.

Makam Agung - Arosbaya

Makam Raja-Raja Bangkalan


Dibanding makam Aermata di Arosbaya, Makam Agung masih kurang populer. Padahal, di Makam Agung inilah Raja Pragalba dan Raja  Pratanu, eyang dan kakek Cakraningrat dimakamkan
Makam Agung menjadi nama sebuah desa di Kecamatan Arosbaya,  Bangkalan. Sebenarnya nama Arosbaya sendiri, pada masa pra Islam di Madura Barat, adalah sebuah nama kerajaan yang didirikan oleh Panembahan Pragalba (abad 16), yang kemudian diislamkan oleh anaknya yang bernama Pangeran Pratanu atau Penambahan Lemah Duwur.
Pragalba masuk Islam di saat menjelang ajalnya. Ketika dituntut membaca syahadat oleh Pratanu, Pragalba menganggukkan kepalanya. Karena itulah kemudian Pragalba juga dikenal sebagai Pangeran Ongguk (angguk atau mengangguk). Dan Islam di Arosbaya, saat itu juga disebut dengan Islam ongguk.
Raja Arosbaya yang berkedudukan di Plakaran kemudian dimakamkan di sebuah komplek pemakaman yang letaknya di sebelah selatan Plakaran, atau sekitar 60 km dari kota Bangkalan. Makam Pangeran Pragalba tersebut disebut dengan Makam Agung.
Di masa pemerintahan Lemah Duwur inilah kerajaan Arosbaya terus meluaskan pengaruh Islamnya ke kerajaan-kerajaan di Sampang dan Blega, bahkan meluas hampir mencapai seluruh Madura.
Dalam catatan Raffles (Raffles, 1817) dikatakan bahwa pada masa itu Lemah Duwur adalah raja yang memegang peranan penting. Bahkan Raffles menyatakan bahwa Lemah Duwur adalah raja paling penting di Jawa Timur. Pasalnya, karena Lemah Duwur dinilai telah berhasil mengembangkan kerajaan Arosbaya menjadi kerajaan yang berperan penting dalam pelayaran, niaga, dan politik di Madura dan Jawa. Pada tahun 1592, Lemah Duwur mangkat. Dia meninggal di Arosbaya dan dikebumikan di komplek Makam Agung. Setelah wafat kekuasaan Lemah Duwur diteruskan adiknya, Pangeran Tengah, yang tak lain ayah Cakraningrat I.
Arsitektur Hindu
Untuk memasuki komplek Makam Agung, makam pendiri kerajaan Madura Barat tersebut, haruslah melewati dua pintu gerbang berbahan batu padas kuning dari sebuah bukit Desa Buduran. Bentuk gerbangnya sangat sederhana, tanpa ukiran. Namun, pada gerbang kedua, yaitu gerbang untuk menuju makam Pragalba, Pratanu dan Raden Koro, ukiran di pintu gerbang sangat kental sekali nafas Hindunya. Meski saat meninggalnya dan dimakamkannya Pragalba dalam keadaan sudah Islam, namun arsitektur komplek pemakamannya di Makam Agung tetap berarsitektur Hindu.
Sisa kemegahan dan kekokohan komplek Makam Agung tersebut masih tampak, meski beberapa bagian pagar dan makam sudah rusak dimakan lumut dan usia. Batu padas kuning sudah berubah wama hijau kehitaman. Pohon tanjung yang berada di makam Pratanu, meski masih berdaun dan berbunga, batang pohonnya banyak yang keropos, menandakan tuanya usia pohon dengan bau bunga yang khas tersebut. Atmosfir di komplek pemakaman raja-raja Madura Barat tersebut memang berbeda. Nuansa mistik dan sakral sangat terasa. Tak mengherankan jika masih banyak masyarakat sekitar dan masyarakat di Madura melakukan ziarah di makam pendiri kerajaan Islam pertama di Madura Barat tersebut. Beberapa hal yang tetjadi di Makam Agung, masih dipercaya membawa pertanda akan adanya kejadian luar biasa.
Pisang Agung
Salah satu pertanda yang paling dipercaya oleh masyarakat sekitar Makam Agung adalah munculnya pohon pisang, yang mereka sebut dengan geddang agung (pisang agung). Oleh masyarakat Madura, pohon pisang tersebut disebut dengan geddang bigih (Pisang biji), yaitu pisang yang di dalam buahnya berbiji. Jika buahnya masih muda, oleh masyarakat madura digunakan untuk campuran bumbu rujak. Namun, pohon dan buah pisang agung tak seperti pohon geddang bigih biasa.
Menurut Sujak, juru kunci Makam Agung, yang sudah beberapa kali melihat pemunculan pisang agung tersebut, batang pohon pisang agung jauh lebih besar dan lebih tinggi dari pohon pisang biasa. Pelepah daunnya bisa sebesar lengan orang dewasa, dengan lembar daun yang sangat lebar.
Munculnya pisang agung bisa menjadi pertanda. Jika muncul, masyarakat sekitar akan terus melakukan doa dan tirakat di Makam Agung. Mereka mengharap, pemunculan pisang agung tidak  membawa pertanda buruk. Selain itu masyarakat juga akan menunggu matangnya buah pisang agung. Jika matang, masyarakat akan berebut untuk mendapatkan buah pisang agung. Mereka percaya, biji buah pisang agung, jika diuntai menjadi tasbih, akan membawa kemustajaban dalam doa dan dzikir.
Tetapi, dalam sejarahnya pemunculannya, pisang agung tersebut hanya berbuah satu kali. Dalam pemunculannya yang lain, tidak pernah berbuah. Sujak mencatat, pisang agung muncul hingga berbuah, menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, saat pemberontakan Gestapo (1965), menjelang jatuhnya Presiden Soekarno (1966) pisang agung juga muncul, tahun 1996 muncul dan menjelang lengsernya Soeharto, 1998, kembali muncul. Lalu tahun 2004, ketika pemilihan presiden, muncul. Pemunculannya hanya sesaat, lalu kemudian hilang.
Sujak menceritakan, pisang agung muncul di tempat yang tidak tetap. Dan, setiap pemunculannya, selalu sudah dalam keadaan setinggi paha orang dewasa. Tahu-tahu muncul begitu saja. Letak mata angin munculnya pisang agung, juga dijadikan tanda di mana akan terjadi sebuah kejadian luar biasa tersebut. Jika pisang agung muncul, tumbuh, hingga berbuah, berarti sebuah kejadian luar biasa terjadi. Tetapi, jika pisang agung muncul tetapi untuk kemudian hilang begitu saja, kejadian tersebut tidak begitu luar biasa. (bud)

Asal-usul Arosbaya

Bagi warga Madura yang bermukim di Kabupaten Bangkalan, nama Kecamatan Arosbaya mungkin sudah tak asing lagi. Ata
u mungkin juga bagi sebagian besar masyarakat Madura. Utamanya yang senang membaca Babat Tanah Madura. Ini karena nama Arosbaya kerap disebut sebagai pusat perkembangan dan peradapan suku Madura, khususnya di wilayah Madura bagian Barat. Lebih-lebih karena di Arosbaya pulalah agama Islam pertama kali disebarkan ke seantero Madura.
Tulisan di atas bukan bermaksud mengorek sejarah Madura, atau pun penyebaran agama Islam di Madura. Semata karena fokus tulisan ini tertuju pada sebaris huruf yang tersusun menjadi kata A-R-O-S-B-A-Y-A.
Legenda yang kuat mengakar di masyarakat Kecamatan Arosbaya, muasal nama Arosbaya bermuara dari keberadaan Buju’ Resbejeh, yakni asta keramat yang lokasinya berada di pemakaman umum Morouk di Kampung Pandian, Desa/Kecamatan Arosbaya. Resbejeh sendiri merupakan dialek masyarakat Madura untuk mengucap nama Arosbaya.
Syandan, makam tersebut diyakini merupa¬kan kuburan dari R. Abdul Wahid Trunokusumo. Beliau merupakan penyiar Islam yang berasal dari Solo. Itu sebagaimana disampaikan oleh juru kunci Buju’ Resbejeh, Ismail.
Diceritakan lebih detail oleh pria yang kini berusia 39 tahun ini, berdasar penuturan yang telah diyakini kebenarannya oleh masyarakat Arosbaya, kali pertama menginjakkan kaki di Madura Barat, R. Abdul Wahid Trunokusumo langsung berziarah ke sebuah makam seorang wanita. Lokasinya saat ini persis berada disebelah barat Buju’ Resbejeh. Hingga kini, makam dimaksud masih terpelihara dan tidak diketahui identitasnya. ‘Kemudian setelah meninggal, beliau dimakamkan di lokasi yang sekarang ini banyak disebut sebagai Buju’ Resbejeh,” tutur Ismail yang kini juga berprofesi sebagai pandai besi ini. Tentang muasal nama Arosbaya sendiri, pria yang juga seorang guru ngaji ini merujuk dari ce¬rita dari mulut ke mulut yang didengar dari tetua kampung setempat.
Konon, cerita Ismail, raja setempat yang oleh masyarakat Arosbaya dikenal bernama Gusteh Nyo’on, pemah bermimpi bahwa di makam R. Abdul Wahid Trunokusumo tersebut berpenghuni seekor buaya putih. Buaya dimaksud dalam wujudnya mempunyai sebilah keris yang terselip di pinggangnya.
“Katanya, bhejeh pote nyongkel kerres. Akhimya padanan dari kerres dan bhejeh tersebut, digabung jadi satu dan menjadi nama Resbejeh. Dalam dialog Bahasa Indonesia, menjadi Arosbaya,” terang Ismail.
Dari versi cerita warga yang lain, Ismail juga mengutip sebuah cerita tentang muasal nama Resbejeh. Meski agak serupa, namun sama sekali tak sama. Dimana, ujar Ismail, lewat mimpinya juru kunci Buju’ Resbejeh sebelumnya yang bemama Abdur Rasyid pernah bermimpi bahwa disekitar Buju’ Resbejeh tersebut ada penampakan berwujud buaya putih yang ekornya berupa sebilah keris.
“Dua versi cerita tersebut sama-sama diyakini kebenarannya oleh masyarakat sekitar sebagai muasal nama Resbejeh atau Arosbaya,” tutur Ismail. Sebagai makam yang dikeramatkan oleh warga sekitar, Buju’ Resbejeh sudah lama dikenal memiliki karomah. Beberapa di antara¬nya diakui sebagai lokasi yang mustajabah untuk memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Namun, serupa beberapa makam aulia’ lainnya, di Buju’ Resbejeh juga dikenal sejumlah ‘ritual’ khusus kala berdoa.
Dalam hal ini, sang juru kunci Ismail kembali membeber fakta yang diperoleh dari mimpinya. Dijelaskan, dalam sebuah tidurnya, pria yang telah dikarunia dua orang anak ini mengaku seakan berada di sekitar Buju’ Resbejeh. Saat hendak masuk ke dalam bangunan makam, dirinya disambut oleh salah seorang yang berpakaian serba putih. Sayang, saat itu dirinya tak bisa melihat wajah sang penyambut yang di kepalanya dibelit sorban putih tersebut. Namun diyakini yang bersangkutan adalah R. Abdul Wahid Trunokusumo yang dimakamkan di Buju’ Resbejeh. Sementara di belakangnya berdiri banyak pengikutnya yang berpakaian juga serba putih dengan cadar ala ninja.
Lazimnya masuk ke komplek makam, Ismail bercerita langsung bersila dan hendak memanjatkan doa kubur. Namun, sontak pria yang berpakaian dan bersorban serba putih tersebut mencegahnya. Kemudian berujar, “Maos Sorat Al-Kahli 7 kaleh (Membaca Surat Al-kahfi 7 kali)”.
“Dalam mimpi, saat itu saya agak kaget. Sebab Al-Kahfi kan lumayan panjang. Meski de¬mikian, saya langsung membacanya. Namun, sebelum menyelesaikan satu ayat pertama dari al-Kalifi, saya terbangun. Sejak saat itu, saya berkeyakinan bahwa di Buju’ Resbejeh ini, kalau hendak berdoa sebaiknya diawali dengan bacaan Al-Kahfi tujuh kali. Insya Allah terkabul. Namun ingat, semuanya tak lepas dari kuasa Sang Maha Esa,” pungkasnya
Sumber : http://bangkalanmemory.blogspot.com/